Cari Blog Ini
Jumat, 26 November 2010
Perang Paderi
Perang Paderi/Padri berlangsung cukup lama yaitu selama kurun waktu 16 tahun, yaitu pada tahun 1821 sampai tahun 1837, di Sumatera Barat antara Belanda dengan masyarakat pribumi. Beberapa versi muncul ketika membicarakan latar belakang perang ini dan tidak semua versi dipaparkan secara berimbang pada masyarakat kita dan juga dalam pelajaran sejarah di sekolah. Versi yang kerap didengar adalah bahwa Perang Paderi/Padri adalah perang untuk menentang perbuatan-perbuatan yang marak waktu itu di masyarakat Minang, seperti perjudian, adu ayam, penggunaan madat, minuman keras, tembakau, sirih, juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan dan pelaksanaan kewajiban ritual formal agama Islam secara longgar. Dari pemaparan tersebut, tersirat ‘pesan’ bahwa yang ditentang oleh kaum Padri ini adalah kaum yang pantas untuk ditentang karena perbuatan-perbuatan mereka melanggar aturan (syariat) dalam ajaran agama Islam, karena menurut mereka tergolong Islam abangan, atau dengan kata lain bukan Islam yang ‘benar’. Pemaparan sejarah seperti diatas tidak netral dan secara tidak langsung sudah memberikan konsep kepada para pembacanya bahwa Kaum Adat adalah pihak yang salah sedangkan Kaum Padri adalah pihak yang benar. Padahal siapa sebenarnya yang berhak mengatakan kebenaran selain sang Pencipta sendiri? Pemaparan yang sering kita dengar atau baca mengenai Perang Padri itu tidak memberikan kesempatan bagi generasi penerus kita untuk mengetahui siapakah sebenarnya kaum yang ditentang oleh kaum Padri itu, mengapa mereka melakukan perlawanan terhadap kaum Padri dan dampak dari Perang itu sendiri terhadap bangsa kita saat ini. Kaum Adat yang disebut-sebut sebagai pihak yang menentang Kaum Padri adalah kaum tradisional Minangkabau yang ingin terus mempertahankan praktik keagamaan pribumi pra-Islam dan menjaga tradisi sosial dalam adat istiadat setempat mereka. Sama halnya dengan Kaum Padri, mereka juga beragama Muslim. Lalu, kenapa sampai bertentangan dengan Kaum Padri? Sebenarnya permasalahannya sederhana saja. Kaum Adat menerima ajaran agama Islam yang dibawa oleh para penyebar agama Islam di Sumatera Barat namun mereka tetap ingin mempertahankan budaya dan adat istiadat setempat. Sedangkan para Kaum Paderi adalah para reformis Islam yang baru kembali dari Haji di Mekah dan begitu terinspirasi untuk membawa Al Qur’an dan Syariah ke posisi yang lebih berpengaruh di Sumatera Karena keinginan itulah maka kaum Padri mulai melakukan pergerakan dengan dasar Al Qur’an dan Syariah yang menyebabkan Kaum Adat harus berhenti melakukan kegiatan budaya yang dirasa menentang hukum syariah agama Islam seperti kepercayaan rakyat yang sinkretis dan tradisi matrilineal. Keadaan ini kemudian memicu perpecahan diantara rakyat Minangkabau yang kemudian terbagi menjadi dua kubu yakni kelompok konservatif yang ingin mengislamkan tradisi-tradisi lokal dan kelompok inklusif yang ingin mengharmonikan ajaran Islam dengan nilai-nilai lokal. Konflik diantara mereka semakin memanas ketika Kaum Adat meminta bantuan pihak Belanda untuk melawan Kaum Padri. Keadaan ini, dimanfaatkan oleh Belanda untuk melancarkan taktik andalan mereka yaitu ‘Devide et Impera’. Kaum Padri sendiri mendapatkan alasan tambahan untuk memusuhi Kaum Adat dan menyatakan perang terhadap aksi mereka karena mereka meminta bantuan dari kolonial Belanda yang sebagian besar non-Muslim. Dari situlah Perang Padri dimulai. Inti konflik sebenarnya terletak pada (aturan dan hukum) agama yang dipertentangkan dengan budaya dan adat istiadat tradisional Minangkabau. Padahal agama dan budaya adalah dua hal yang tidak bijak untuk dipertentangkan, karena agama (Islam) itu sendiri sudah membawa unsur kebudayaan dari mana agama itu berasal dan tumbuh sehingga budaya baru yang dibawa oleh agama itu jika dibawa ke suatu tempat yang sudah punya budaya yang solid kemudian dipaksakan untuk menggantikan budaya lama yang sudah mengakar tersebut ke dalam masyarakat tradisional Minangkabau dengan pendekatan pemaksaaan dan represi (pembakaran pasar, perkelahian, pembunuhan) maka pasti akan mengalami pertentangan yang akan berujung pada konflik. Harmonisasi budaya yang ingin dilakukan oleh Kaum Adat sepertinya tidak mendapat kebebasan dan ruang untuk memaparkan solusi yang ingin mereka tawarkan terhadap perbedaan itu, padahal toh mereka (Kaum Adat) sudah menerima dengan baik ajaran dari agama Islam dan tidak ada pertentangan mengenai ajaran-ajaran agama tersebut. Jika sejak awal dialog antara Kaum Adat dengan Kaum Padri dapat berjalan, dengan tanpa mengedepankan tujuan menghilangkan salah satunya, maka peperangan selama 16 tahun yang banyak memakan korban jiwa itu bisa saja terelakkan. Sampai hari ini, di beberapa tempat di Indonesia, upaya menghilangkan budaya dan adat istiadat asli dengan budaya baru masih saja ditemui. Padahal Will Durrant, seorang sejarahwan asal Amerika pernah mengatakan "A great civilization is not conquered from without until it has destroyed itself from within”. Artinya: Sebuah peradaban besar tidak dapat ditaklukkan dari luar sebelum ia telah menghancurkan dirinya sendiri dari dalam. Mengingat Indonesia dulu adalah perdaban yang besar dan jaya, dan kekayaan budaya dan keberagaman adat istiadat, maka jika kebudayaan asli kita dan adat istiadat itu dimusnahkan, maka jangan heran jika bangsa ini hancur. Itukah yang (sebenarnya) dikehendaki?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar